Kesehatan Mental di Tempat Kerja

 

Kesehatan Mental di Tempat Kerja

Narasumber  : Ardiansyah, SKM, MM (RSMH Palembang)

 

Perusahaan sebagai tempat karyawan menghabiskan lebih dari sepertiga waktunya dalam sehari perlu memperhatikan faktor Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Peraturan Pemerintah terbaru mengenai K3 ini diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Lingkungan Kerja kini juga mengatur mengenai Kesehatan Mental. Kesehatan mental adalah keadaan sejahtera dimana setiap individu menyadari potensi yang dimilikinya, dapat mengatasi tekanan normal dari kehidupan, dapat bekerja secara produktif dan baik, dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya. Stress kerja yang tidak ditangani dengan baik bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental (Hayati, 2019).

Menurut Ardiansyah, Sandy.et.al. (2023) Peran penting lingkungan kerja dalam kehidupan manusia tidak bisa diremehkan. Lingkungan kerja bukan hanya sebagai tempat mencari nafkah, arena persaingan bisnis dan peningkatan kesejahteraan, tetapi juga menjadi sumber stress yang berdampak negatif terhadap Kesehatan mental setiap orang yang berinteraksi dengannya, individu misalnya. Pesertanya meliputi pejabat, petugas, atau karyawan. Masalah yang menyebabkan psikosis ditempat kerja antara lain disebabkan oleh stres. Stres sering terjadi di lingkungan kerja, antara lain : 

1.    Kekecewaan atas kurang terjaminnya kesejahteraan, dalam hal ini, honor atau gaji serta tunjangan yang diterima tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari

2.  Konflik di tempat kerja dengan personil lainnya, contohnya dengan atasan, kolega atau dengan partner

3.      Pekerjaan yang sedang dijalani tidak sesuai dengan passion serta kemampuan dirinya

4.      Kompetisi atau persaingan yang tidak sehat yang terjadi  antar pimpinan atau karyawan

5.      Beban kerja yang terlalu berat, terlebih tidak sebanding dengan honor yang dibayarkan

6.     Lingkungan kerja yang kurang kondusif, misalnya terlalu bisng, kotor, sumpek, ventilasi udara yang tidak ideal

7.      Waktu istirahat yang kurang

8.      Hari libur yang kurang jika dibandingkan dengan rutinitas bekerja yang terlalu padat

9.      Tidak adanya komunikasi terbuka antara pimpinan dan karyawan

10.  10)Jenjang karir atau kenaikan pangkat/golongan yang tidak tertata dengan baik

11.  11)Pegawai karyawan kurang diberikan kesempatan untuk menunaikan ibadah sesuai keyakinan.

Jika masalah ini muncul dalam suatu organisasi atau perusahaan, maka akan menyebabkan stagnasi produktivitas tenaga kerja di kalangan manajer atau karyawan. Jika hal ini terjadi, cukup menunggu lembaga atau perusahaan tersebut bangkrut.  Dengan demikian, agar kader/pegawai dapat mencapai keberhasilan, keuntungan dan produktivitas, pimpinan perlu memperhatikan kesehatan mental bawahannya untuk menciptakan kondisi yang kondusif. Oleh karena itu, penting bagi pimpinan organisasi pemerintah/swasta untuk mengembangkan anjuran untuk mencegah masalah mental seperti gangguan afektif dengan meminimalkan kemungkinan sumber stres.

Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) pada tahun 2012 memperkirakan sekitar 20 persen orang dewasa usia kerja memiliki masalah kesehatan mental. Sementara itu, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2017, pekerja industri kecil dan menengah yang mengalami depresi dan insomnia masing-masing sebanyak 60,6 dan 57,6 persen. Lebih lanjut, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2018 menunjukkan prevalensi depresi bagi PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD, Pegawai swasta, Wiraswasta, Petani/buruh tani, Nelayan, dan Buruh/sopir/pembantu ruta berturut-turut sebesar 2,4:, 4,3;, 5,1;, 5,5;, 6,9;, dan 5,8 persen. Sementara itu, prevalensi gangguan mental emosional bagi PNS/TNI/POLRI/BUMN/BUMD, Pegawai swasta, Wiraswasta, Petani/buruh tani, Nelayan, dan Buruh/sopir/pembantu ruta berturut-turut sebesar 3,9;, 6,3;, 7,0;, 9,7;, 10,8;, dan 9,7 persen. Kondisi ini dapat mengindikasikan bahwa masalah kesehatan mental di tempat kerja masih cukup diabaikan oleh beberapa perusahaan di Indonesia (Memish dkk., dalam Firdausya, et.al, 2023).

So, apa pengaruhnya bagi pekerjaan dan tempat kerja jika pegawai atau karyawannya tidak memiliki kesehatan mental yang baik ?

Menurut laman https://www.paychex.com/, dampak buruknya Kesehatan Mental Karyawan di Tempat Kerja dapat berupa Hilangnya produktivitas, ketidakhadiran, keharusan merekrut dan melatih karyawan karena tingginya turnover, dan bahkan biaya asuransi kesehatan yang lebih tinggi semuanya berpotensi terkait dengan buruknya kesehatan mental karyawan. Bahkan untuk usaha kecil, biaya ini bisa bertambah. Para pemimpin bisnis mengatakan bahwa masalah kesehatan mental dapat berdampak negatif pada operasional mereka melalui cara-cara berikut:

1.      Pendapatan menurun (40%)

2.      Profitabilitas menurun (39%)

3.      Kehilangan pelanggan (30%)

4.      Output berkurang (26%)

5.      Berkurangnya daya saing (20%)

Meskipun terlihat sebagai hal yang sepele, masalah kesehatan mental akan berdampak buruk jika tidak ditangani dengan baik. Secara tidak langsung, pengaruhnya akan berdampak juga pada performa perusahaan secara keseluruhan. Untuk mengatasi hal tersebut, ada beberapa langkah kegiatan yang bisa kita lakukan, antara lain:

1.      Membangun budaya mental sehat di lingkungan kerja

Membangun lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental membutuhkan suatu sistem pendukung yang kuat pula. Para atasan harus memiliki pemahaman dan kesadaran yang sama akan hal ini. Perusahaan juga dapat memberikan self-assessment tools bagi pegawai hingga menawarkan layanan kesehatan.

Selain itu, tidak kalah penting bagi perusahaan untuk memberikan edukasi bagi karyawan akan pentingnya isu ini. Pemberian pemahaman bisa dilakukan melalui seminar/workshop bertema kesehatan mental seperti teknik pengelolaan stres dan mindfulness.

2.      Menghindari toxic positivity

Toxic positivity terjadi akibat adanya anggapan bahwa seorang pegawai harus dapat menunjukkan emosi positif di setiap waktu. Memberikan layanan terbaik saat bekerja memang merupakan hal yang sangat baik. Namun, setiap pegawai pun sangat wajar apabila merasa tidak baik-baik saja. Karena itukah, setiap lingkungan kerja harus memberikan kesempatan para pegawainya untuk mengekspresikan perasaan tidak nyaman atau mengutarakan permasalahan yang dihadapinya.

3.      Memberikan jeda atau waktu rehat sejenak

Belajar pada masa pandemi covid-19, semakin banyak perusahaan yang memberikan kelonggaran para pegawainya untuk tidak selalu harus bekerja dari kantor. Hal ini salah satunya bertujuan untuk memberikan kesempatan para karyawan untuk beristirahat atau menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.

Referensi

Ardiansyah, Sandy, et.al, 2023, Kesehatan Mental, PT Global Eksekutif Teknologi, Sumatera Barat

Firdausya, Naufal Mohamad, et.al, 2023, Kajian Vol. 1: Menilik Isu dan Urgensi Kesehatan Mental Pekerja Indonesia, Bidang Kajian Microeconomics Dashboard, Laboratorium Ilmu Ekonomi FEB UGM

Hayati, 2019, Kesehatan Mental Karyawan di Lingkungan Pekerjaan. Sebuah Studi pada Divisi Support Perusahaan Multinasional, JP3SDM, Vol. 8. No. 2

https://www.paychex.com/articles/human-resources/workplace-mental-health-effects, diakses tanggal 21 Agustus 2024

https://prasmul-eli.co/id/articles/Permasalahan-Mental-pada-Pegawai-Kantor-dan-Cara-Mengatasinya, diakses tanggal 21 Agustus 2024

Sumber Gambar  :  https://www.merdeka.com/

DOC, PROMKES,RSMH

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengaruh pengharum ruangan bagi kesehatan

Tren Pacaran Remaja, Gaya dan Dinamika Hubungan di Era Digital

TERMINAL LUCIDITY, FENOMENA PASIEN MEMBAIK SEBELUM MENINGGAL