Gangguan Kecemasan Pada Lansia

 

Gangguan Kecemasan Pada Lansia

Narasumber : Nyimas Sri Wahyuni, S.Kep, Ners, M.Kep, Sp.Kep.A (RSMH Palembang)


Gangguan kecemasan  cukup umum terjadi dan sering terjadi pada orang dewasa lanjut usia  (Byrne, G. J. A. (2015). Menurut Chenjing, S. (2017), prevalensi gangguan kecemasan pada lansia berkisar antara 3,2% hingga 14,2%. Gangguan kecemasan seringkali mencakup beberapa kondisi, khususnya gangguan panik tanpa agorafobia, gangguan panik dengan agorafobia, agorafobia tanpa riwayat gangguan panik, Kecemasan spesifik, fobia sosial, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stres pasca trauma (PTSD), akut, umum gangguan stres. Gangguan kecemasan (GAD), kecemasan kesehatan umum, gangguan kecemasan akibat zat, dan gangguan kecemasan yang tidak disebutkan secara spesifik (D’Zurilla, 2010).

Beberapa survey yang dilakukan terhadap gangguan kecemasan pada lansia menemukan bahwa lansia memiliki peluang untuk mengalami gangguan cemas sebanyak dua kali lebih besar dari pada individu muda (Folger, J. & Edward, S, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan salah satu masalah utama yang saat ini sering dihadapi oleh lansia. Namun, dari berbagai macam gangguan kecemasan yang dialami lansia, tidak diketahui secara pasti onset munculnya gangguan kecemasan tersebut (Hammond, 2015).

 Gangguan kecemasan pada lansia sering kali dibarengi dengan penurunan kondisi fisik lansia yang sudah mengalami penyakit (chronic pain) atau gangguan psikiatri lainnya seperti demensia atau depresi (Byrne, 2002). Sebanyak 24% Lansia yang mengalami medical illnes memiliki gangguan kecemasan. Selain itu, gangguan kecemasan pada orang dewasa yang lebih tua berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif dan perubahan sepanjang umur orang dewasa yang lebih tua (Taylor et al, 2010).

Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa penyebab  gangguan kecemasan dapat dilihat dari sudut pandang neurologis, dimana terjadi kerusakan fungsi otak penderita gangguan kecemasan, terutama pada daerah otak tengah, korteks prefrontal kiri dan kanan  (Hammond, 2005). Kadang-kadang sulit untuk menentukan gangguan mana yang lebih dulu mempengaruhi gangguan lain.

 Terdapat sejumlah kriteria yang berarti gangguan kecemasan tidak ditemukan pada lansia. Pertama, terjadinya gejala kecemasan pada lansia, dimana gangguan kecemasan  jarang ditemukan dalam setting klinis. Ketika gangguan kecemasan muncul dalam bentuk perilaku,  gangguan kecemasan tersebut  sering kali berhubungan dengan gangguan lain, misalnya  gangguan depresi mayor atau depresi. Biasanya, terapis hanya mencari satu target utama untuk mengobati gangguan tersebut, dan target yang paling sering  adalah gejala yang berhubungan dengan gangguan depresi. Kedua, lansia dengan gangguan kecemasan seringkali tidak dapat menemukan kriteria  diagnosis yang tepat menurut kriteria DSM IV TR dengan klasifikasi yang lebih spesifik (Indriasari, 2016).

 Gangguan kecemasan atau gejala kecemasan yang menyebabkan gangguan kecemasan pada lansia mempunyai dampak negatif terhadap kehidupannya. Menurut Brens, Guralnik, Williamson, Frierd, dan Pennix (dalam (Kelly, 2018), dampak yang dapat ditimbulkan oleh gejala atau gejala kecemasan pada lansia adalah adanya keluhan kesehatan fisik pada lansia di masyarakat, misalnya peningkatan disabilitas fisik dan gangguan aktivitas sehari-hari serta penurunan kesehatan dan kepuasan hidup pada lansia.

            Gangguan kecemasan juga dapat menyebabkan peningkatan angka kematian dan peningkatan risiko penyumbatan pembuluh darah sehingga menyebabkan penyakit kardiovaskular yang umum terjadi pada pria. Dari dampak di atas terlihat bahwa gangguan kecemasan pada lansia merupakan penyakit yang cukup serius dan memerlukan tindakan pengobatan khusus pada lansia untuk mengatasinya.

Ada sejumlah pengobatan atau pengobatan psikologis  yang dapat digunakan untuk mengurangi gangguan kecemasan pada lansia, termasuk intervensi terapi perilaku kognitif (CBT). Beberapa teknik  intervensi CBT yang umum digunakan adalah relaksasi, dimana pada teknik relaksasi ditemukan  penurunan gejala kecemasan lebih terlihat saat menggunakan teknik relaksasi dibandingkan saat memanipulasi objek (Kenner, 2009).  Selain itu teknik yang juga sering digunakan adalah rational- emotive therapy (REBT), dan group multicomponent wellness (GMW) intervention yang juga merupakan bagian dari teknik cognitive behavioral therapy (CBT). Pada masing-masing teknik memiliki keunikan dan keunggulan yang berbeda-beda.

Sumber Gambar: https://portalmadura.com/

 

Referensi:

Folger, J. & Edward, S. (2013). Using cognitive behavioral therapy group to treat depression and anxiety in older adults. Journal of the American Geriatrics Society. 29-32. Retrieved from http://www.clinicalgeriatrics.com/ article/3444?page=0,0

 

Hammond, D. C. (2015). Neurofeedback with anxiety and affective disorder.

Child adolese psychiatric clinic. Vol 14. 105-123

 

Indriasari, N. (2016). Manajemen stress dengan pendekatan kognitif perilaku pada wanita dengan kanker payudara pasca-pengobatan. Tesis. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

 

Kelly, H. (2018). Cognitive behavior therapy treatment approach: Group therapy vs indicidual therapy. Mental Healt CATs. Paper 7. http://commons.pacificu.edu/ otmh/7

 

Kelly, W. E. (2016). Examining the relationship between worry and trait anxiety:

College Student Journal. Vol 38.

DOC, PROMKES RSMH

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengaruh pengharum ruangan bagi kesehatan

Tren Pacaran Remaja, Gaya dan Dinamika Hubungan di Era Digital

TERMINAL LUCIDITY, FENOMENA PASIEN MEMBAIK SEBELUM MENINGGAL