Diagnosis herpes dan komplikasinya pada anak
Diagnosis herpes dan komplikasinya pada anak
Narasumber : Novita Agustina, Ns, M.Kep, Sp.Kep. A ( RSMH Palembang)
Diagnosis klinis HZ dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vesikel berkelompok dengan dasar berwarna kemerahan, unilateral dan tersebar dermatomal. Pada karakteristik dengan ruam yang tidak khas, HZ diseminata, atau dengan lesi yang minimal maupun tidak terdapat kelainan kulit; zosteriform herpes simplex, kemerahan
karena enterovirus, poxvirus, zoster tanpa kelainan kulit (zoster sine herpete) namun kadang ditandai adanya paralisis wajah, meningitis, stroke, myelitis, dan infeksi gastrointestinal.
Pemeriksaan penunjang pada herpes zoster berupa tes Tzank, biopsi kulit, kultur virus, fluorescent antibody, uji serologis, dan polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan penunjang tes Tzanck yang dilakukan pada pasien ini memperlihatkan sel-sel raksasa berinti banyak. Pemeriksaan penunjang pada herpes zoster sama dengan pada varisela yaitu kultur virus, identifikasi virus melalui polymerase chain reaction (PCR), dan pemeriksaan serologis dengan fluorecent-antibody terhadap antigen membran VZV. Untuk jenis pemeriksaan yang lebih sederhana dapat dilakukan tes Tzanck pada vesikel baru yang dipecahkan. Hasil dinilai positif jika ditemukan sel raksasa berinti banyak.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis HZ. Pemeriksaan sederhana menggunakan apusan Tzank dengan pewarnaan Giemsa dapat membantu menegakkan diagnosis secara cepat untuk mengidentifikasi adanya perubahan sitologi sel epitel yang menunjukkan gambaran multinucleated giant sel. Pemeriksaan vesikel dengan pewarnaan immunofluorescence atau immunoperoxidase untuk mengamati material sel yang terdeteksi VZV lebih signifikan dan lebih cepat dibandingkan kultur.
Pemeriksaan serum antibodi memberikan hasil yang akurat namun membutuhkan waktu hingga terbentuk antibodi pada pasien. Serum antibodi anti-IgM VZV umumnya tidak membantu dan tidak spesifik. Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat digunakan yaitu pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) yang digunakan untuk mengidentifikasi antigen/ asam nukleat VZV. Material yang diambil berasal dari vesikel (swab, cairan), saliva pasien yang tidak terdapat gejala manifestasi kulit, dan cairan serebrospinal jika terdapat gejala tanda neurologis.
Pemeriksaan DNA melalui PCR memiliki sensitivitas dan specificity yang paling tinggi dan merupakan baku emas untuk diagnosis dengan mengetahui genom dari VZV. Kultur virus merupakan pemeriksaan yang sangat spesifik namun tidak sensitif, selain itu hasilnya baru bisa didapatkan lebih dari 1 minggu. Pemeriksaan serologis dapat membantu penegakan diagnosis VZV bila di dalam serum convalescence terdapat peningkatan 4 kali lipat titer VZV relatif terhadap serum akut. PCR merupakan pemeriksaan yang sangat sensitif, relatif cepat, dan mulai banyak digunakan sebagai metode deteksi VZV. PCR juga dapat digunakan untuk mengetahui adanya resistansi aciclovir.
Komplikasi yang umum terjadi dari penyakit herpes zoster (HZ) adalah postherpetic neuralgia (PHN), yang merupakan sejenis nyeri neuropati yang menetap selama 90 hari atau lebih setelah ruam kemerahan sembuh. Nyeri dapat menetap dalam waktu beberapa bulan atau tahun, serta berdampak pada kualitas hidup penderita karena mengganggu tidur dan aktivitas sehari hari, menyebabkan anoreksia, kehilangan berat badan, lemas, mengganggu fungsi sosial, produktivitas, dan menyebabkan dependensi.
Terdapat dua bentuk karakteristik nyeri pada PHN yaitu nyeri terus menerus dengan penurunan sensasi raba, atau bersifat hilang timbul dengan rasa gatal disertai parestesia. Nyeri tersebut menjadi keluhan yang paling mengganggu dan terjadi 90% pada orang dengan PHN. Faktor risiko terjadinya PHN antara lain usia di atas 40 tahun, keparahan nyeri pada kondisi akut, keparahan lesi kulit kemerahan, dan keparahan gejala prodromal dengan lokasi paling berisiko yaitu daerah trigeminal.
Selain nyeri, HZ juga dapat menyebabkan disabilitas permanen, seperti komplikasi pada mata, komplikasi neurologis (kelumpuhan saraf perifer dan kranial, defisit motorik, paresis) yang diikuti rasa nyeri pada daerah lesi. Herpes zoster yang mengenai regio sacrum dapat bermanifestasi menjadi retensi urin dan kelainan defekasi. Pada kondisi herpes sine herpete dapat terjadi Bell’s palsy, sindrom Ramsay Hunt (bermanifestasi berupa adanya vesikel pada kanalis auditori eksternal, hilangnya sensasi rasa 2/3 anterior lidah, kelemahan wajah), transverse myelitis, meningoencephalitis, sindrom yang melibatkan arteri serebral atau disebut varicella zoster virus vasculopathy dapat menyebabkan sindrom stroke.
Kompilkasi lain adalah herpes zoster diseminata. Insidensi keparahan HZ meningkat pada kondisi kegagalan imunitas seperti kondisi keganasan (limfoma) atau saat seseorang menjalani terapi dengan agen immunosuppressant. Lesi kulit yang terjadi dapat tersebar, berjumlah lebih dari 20 lesi atau meluas dari dermatom primer, serta terdapat keterlibatan organ dalam berupa pneumonia, hepatitis, serta peradangan otak.
Referensi:
Dewi, N. R., & Anggraini, D. I. (2020). Penatalaksanaan holistik penyakit herpes zoster pada pasien remaja laki- laki 15 tahun dengan pendekatan kedokteran keluarga. Medula, 10(3), 461–469.
Fatimah Fitriani, Harijono Kariosentono, Budi Eko Prasetyorini, Putri Oktriana, & Nathania Amelinda. (2021). Tata laksana herpes zoster. Medicinus, 34(3), 50–60. https://doi.org/10.56951/medicinus.v34i3.82
Irianti, M. I., Fitriana, W., Arifianti, A. E., & Rahmasari, R. (2020). Herpes simplex virus tipe 1: Prevalensi, infeksi dan penemuan obat baru. Jurnal Ilmu Kefarmasian, 13(1), 21–26.
Kinasih, L. A., & Mira, D. I. (2015). Studi retrospektif: Karakteristik pasien herpes zoster. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin, 27(3), 211–217. Retrieved from https://www.e-jurnal.com/2018/03/studi-retrospektif-karakteristik-pasien.html
Pandaleke, T. A., Pandaleke, H. E. J., Susanti, R. I., & Dotulong, J. D. P. (2018). Herpes zoster pada anak. Jurnal Biomedik (Jbm), 10(1), 1–4. https://doi.org/10.35790/jbm.10.1.2018.19005
Sumber foto: Fatimah Fitriani, Harijono Kariosentono, Budi Eko Prasetyorini, Putri Oktriana, & Nathania Amelinda,(2021)
( DOC, PROMKES, RSMH)
Komentar
Posting Komentar