Hepatitis B dalam Kehamilan
Hepatitis B dalam Kehamilan
Narasumber : Cindy Kesty, Nuswil Bernolian( RSMH,
Palembang)
Epidemiologi
Infeksi
virus hepatitis B (HBV) saat ini telah dikenal sebagai salah satu masalah utama
masyarakat di seluruh dunia. Telah diperkirakan sebesar 350–400 juta individu
di seluruh dunia mengalami infeksi kronik
virus hepatitis B. Selain itu, yang cukup menarik perhatian adalah hampir 50%
dari seluruh individu ini mendapatkan penularan virus hepatitis B dari transmisi atau
penularan perinatal. Di Indonesia, prevalensi penduduk dengan hepatitis B pada
populasi sehat diperkirakan mencapai 4,0–20,3% dengan proporsi pengidap di luar
Pulau Jawa lebih tinggi daripada di Pulau Jawa.
Sirosis
dan karsinoma hepatoselular merupakan
dua luaran klinis hepatitis B kronik yang tidak diterapi
dengan tepat. Apabila tidak diberikan intervensi seperti pemberian
imunoprofilaksis, maka ibu dengan HBsAg positif memiliki risiko 20% untuk
mentransmisikan infeksi tersebut ke anaknya saat melahirkan. Risiko tersebut
akan meningkat menjadi lebih dari 90% pada ibu dengan HBeAg positif. Transmisi
secara vertikal tersebut diketahui sebagai penyebab terjadinya infeksi
perinatal yang berkaitan dengan angka kronisitas
yang sangat tinggi (> 95%).
Oleh
karena tingginya morbiditas dan mortalitas
serta untuk menyediakan layanan kesehatan jangka panjang dan efisiensi biaya
akibat transmisi penyakit infeksius dari ibu ke anak, Pemerintah Indonesia
mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 52 Tahun 2017
tentang eliminasi penularan Human
Immunodeficiency Virus (HIV), sifilis, dan hepatitis B dari ibu ke anak. Penting bagi klinisi untuk mengetahui etiologi,
patogenesis, cara mendiagnosis, dan tatalaksana hepatitis B dalam kehamilan.
Etiopatogenesis
Virus
Hepatitis B merupakan virus berkapsul, berdiameter 42 nm yang termasuk dalam
keluarga Hepadinaviridae dan memiliki genom yang berbentuk sirkular dengan
panjang molekul 3,2 kb terdiri dari molekul DNA ganda. Telah ditemukan beberapa bentuk
antigen yang penting secara klinis dalam mengkonfirmasi perkembangan infeksi
virus hepatitis B, yaitu HepatitisVirus B s antigen (HBsAg) yang menandakan
adanya infeksi virus hepatitis B, Hepatitis B e Antigen (HBeAg) yang menandakan
adanya replikasi virus, serta transaktivator HBx yang berkaitan dengan
kemampuan virus tersebut dalam menyatukan genomnya dengan genom host serta kemampuannya dalam
menyebabkan suatu bentuk penyakit keganasan (onkogenisitas).
Gambar 1. Virus hepatitis B
Virus Hepatitis B memiliki masa inkubasi
antara 6 minggu sampai dengan 6 bulan dengan rata-rata yaitu 90 hari (3 bulan). Virus ini menular
secara perkutaneus (luka pada kulit) atau mukosa yang terpapar oleh darah,
cairan tubuh seperti serum, semen dan air liur yang telah tercemar oleh virus
tersebut. Replikasi virus Hepatitis B sebagian besar terjadi di sel hati.
Virus Hepatitis B yang menginfeksi manusia
akan menyebabkan terjadinya infeksi akut yang kemudian dapat berkembang menjadi
kronik sebanyak 10%, memberi
gejala hepatitis akut sebanyak 25% yang kemudian sembuh, 65% akan tidak bergejala
kemudian sembuh dan < 1% yang akan menjadi hepatitis B fulminan. Pasien yang
terinfeksi Hepatitis B akan menjalani 4 fase penyakit yaitu fase immune tolerant, fase immune clearance, fase pengidap inaktif,
dan fase reaktivasi. Keempat fase ini dibedakan lewat kadar DNA dan kadar enzim
hatinya.
Pada
daerah endemik, cara penting dalam penularan Hepatitis B dari individu ke
individu yang lain diperankan oleh kontak dengan pasien (bagi tenaga
kesehatan), kontak seksual serta penggunaan obat-obatan melalui intravena.
Sementara itu, pada daerah yang memiliki prevalensi rendah, cara penularan yang
sangat berperan adalah melalui parenteral atau perkutaneus seperti saat
melakukan tindik, membuat tato atau saat berbagi pisau cukur maupun sikat gigi.
Cara penularan lainnya yang juga merupakan cara penularan yang menyebabkan angka
kronisitas yang tinggi adalah melalui transmisi ibu-anak.
Gambar 2. Transmisi virus
hepatitis B melalui transplasenta
Transmisi infeksi dari ibu ke anak secara tradisional disebut sebagai infeksi perinatal. Transmisi ini merupakan transmisi yang terpenting diantara transmisi vertikal lainnya dalam hal penyebab terbentuknya penyakit hepatitis B kronik. Berdasarkan definisinya, periode perinatal yang dimulai dari usia kehamilan 28 minggu - 28 hari post-partum maka infeksi di luar masa tersebut tidak termasuk dalam infeksi perinatal. Oleh karena itu, saat ini istilah tersebut telah berubah menjadi transmisi ibu-anak yang mencakup keseluruhan infeksi yang terjadi sebelum, saat dan sesudah kelahiran, termasuk infeksi yang terjadi pada usia dini. Transmisi ibu-anak dapat terbagi menjadi 3 mekanisme yaitu transmisi intrauterine/pra-partum, transmisi intrapartum, dan transmisi post-partum. Transmisi intrapartum dapat terjadi lewat beberapa mekanisme seperti kerusakan sawar plasenta atau infeksi plasenta dan transmisi plasenta. Transmisi intrapartum dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti akibat ruptur membran plasenta yang terjadi, melalui cairan amnion, darah, maupun sekret yang terdapat di sepanjang jalan lahir tertelan oleh bayi. Transmisi post-partum biasanya terjadi bukan karena menyusui, namun akibat luka di sekitar puting susu yang mengeluarkan eksudat yang infeksius. Risiko penularan dari ibu ke bayi juga berkaitan dengan tingkat viremia. Tingkat virus yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko penularan. Pada sebuah studi kasus kontrol yang dilakukan di Taiwan pada 773 perempuan dengan Hbs-Ag positif menunjukkan hasil bahwa tingginya kadar HBV DNA (>1,4 ng/mL atau kira-kira 3,8x108 kopi/mL) pada perempuan dengan HbeAg yang positif berhubungan dengan rasio odds sebesar 147 untuk terjadinya infeksi kronik pada bayi, jika dibandingkan dengan perempuan dengan HBV DNA < 0,005 ng/mL. Meningkatnya derajat viremia juga berhubungan dengan peningkatan risiko kegagalan pemberian terapi imunoprofilaksis.
Manifestasi Klinis
Gejala
klinis pada pasien yang terinfeksi virus hepatitis B seperti pada umumnya,
tidak berbeda antara wanita hamil dan wanita yang tidak hamil. Pada kasus
infeksi akut akan timbul keluhan yang tidak spesifik, termasuk kelemahan,
kelelahan, anoreksia, mual, sakit kepala, nyeri otot, dan demam derajat
rendah. Gejala seperti mual muntah pada stadium prodromal ini terkadang
membingungkan dengan gejala yang timbul pada wanita hamil muda tanpa penyakit
hepatitis B. Jika penyakit ini sembuh sebelum terbentuknya kerusakan hati yang
menyebabkan disfungsi hati sekunder, maka gejala prodromal seperti di atas akan
dianggap seperti suatu sindrom flu biasa akibat virus atau bahkan akan dianggap
sebagai bentuk efek fisiologis normal dari kehamilan itu sendiri. Pada sebagian
besar individu yang mengalami hepatitis B kronik, tidak akan memberikan gejala klinis hingga
stadium akhir. Infeksi kronik hepatitis
B kadang kala diketahui secara tidak sengaja saat pasien hamil tersebut
memeriksakan kehamilannya. Temuan laboratorium lain umumnya normal kecuali
kadar ALT yang cenderung tidak normal. Pemeriksaan
fisik wanita hamil dengan infeksi kronik
hepatitis
B terkadang tampak normal oleh karena tanda-tanda sirosis dini seperti eritema
palmaris, splenomegali dan ukuran hati yang kecil dapat tersamarkan dengan
perubahan kondisi fisik akibat kehamilan tersebut.
Diagnosis
Diagnosis
sering didasarkan pada riwayat klinik, meningkatnya kadar ALT serta
ditemukannya antigen hepatitis B virus (HBsAg) di serum pasien. Pemeriksaan
tambahan seperti anti-HBe IgM kadang kala dibutuhkan pada beberapa kasus dimana
pasien diduga mengalami infeksi akut dengan kadar HBsAg negatif, pasien pada
kasus ini harus dicurigai sedang berada pada “fase jendela” (window phase). Pada pasien dengan dugaan
hepatitis B kronik
harus dilakukan pemeriksaan HBsAg dan HBV DNA untuk diagnosis, indikasi terapi
dan untuk mengamati perkembangan dari pasien tersebut. Beberapa tes serologi
penting antara lain HBeAg yang menunjukkan kondisi pasien yang sangat
infeksius, HBV DNA menunjukkan jumlah virus dalam tubuh pasien, anti HBe atau
HBeAg yang mengindikasikan bahwa pasien tersebut lebih kurang menular
dibandingkan dengan HBeAg positif.
Penatalaksanaan
Wanita usia subur dengan infeksi hepatitis B disarankan untuk menggunakan kontrasepsi selama pengobatan dan pasien harus diberikan informasi mengenai pengobatan hepatitis B dan dampaknya terhadap kehamilan. Pada wanita hamil yang didiagnosis mengidap infeksi hepatitis B kronik pada awal kehamilan keputusan untuk memulai terapi harus mempertimbangkan antara risiko dan keutungan pengobatan. Pengobatan biasanya dimulai pada pasien dengan fibrosis hepatik atau dengan risiko dekompensasi. Terapi hepatitis B pada wanita hamil biasanya ditunda sampai dengan trimester 3 untuk menghindari transmisi perinatal.
Tabel 1. Daftar
obat-obatan hepatitis B dan pengaruhnya pada kehamilan
Obat dan Dosis |
Indikasi |
Kategori |
Efek Samping |
Lamivudine (100 mg/hari) |
Hepatitis
B kronik dan replikasi |
C |
Pankreatitis,
asidosis laktat |
Telbivudin (600 mg/hari) |
Hepatitis kronik, transaminitis |
B |
Miopati,
asidosis laktat |
Entecavir (0,5-1 mg/hari) |
Hepatitis
B dengan replikasi aktif |
C |
Asidosis
laktat |
Adefovir (10 mg/hari) |
Hepatitis B kronik |
C |
AKI, diabetes
insipidus nefrogenik, asidosis laktat |
Tenofovir (300 mg/hari) |
Hepatitis
B kronik |
B |
Nefropati,
osteomalasia, asidosis laktat |
Penggunaan
Peg-IFN (interferon) dikontraindikasikan pada kehamilan. Obat-obatan lain
seperti lamivudin, entecavir, dan adefovir dikategorikan dalam profil keamanan
kehamilan kelas C. Telbivudin dan tenofovir dikategorikan dalam profil keamanan
kehamilan kelas B. Tenovofir lebih direkomendasikan sebagai terapi karena
risiko resistensi yang rendah. Bila pasien menjadi hamil pada saat menjalani
terapi, maka pengobatan perlu dievaluasi. Pasien disarankan untuk menghentikan
pengobatan, kecuali pada pasien dengan sirosis dan fibrosis lanjut dimana
penghentian pengoabatan akan meningkatkan risiko dekompensasi. Wanita hamil
yang terapinya dihentikan berisiko untuk mengalami hepatitis flare dan disarankan untuk menjalani
pemantauan ketat. Alur pengobatan dapat dilihat pada bagan di bawah ini. Walaupun
beberapa studi menyebutkan bahwa terdapat perbaikan profil keamanan penggunaan
obat-obatan antivirus
pada trimester pertama dan kedua, apabila terapi antivirus hanya diberikan dengan
tujuan menurunkan risiko transmisi, maka terapi hanya harus dimulai pada
trimester ketiga untuk menurunkan risiko paparan dan dampak negatif pada fetus.
Pencegahan
transmisi perinatal dapat dilakukan dengan pemberian HBIg pada fetus dalam 12
jam setelah lahir yang dikombinasikan dengan vaksinasi hepatitis B. Pada wanita
hamil dengan muatan virus yang tinggi, risiko transmisi perinatal mencapai
>10% walaupun dengan kombinasi HBIg dan vaksinasi. Oleh karena itu, supresi
muatan virus dengan analog nuklosida/nukleotida pada trimester ketiga direkomendasikan
untuk mencegah transmisi dan meningkatkan efektivitas HBIg dan vaksinasi pada
fetus. Studi buta acak ganda membuktikan efektivitas lamivudin pada trimester
ketiga kehamilan untuk mencegah transmisi perinatal. Pemberian ASI pada ibu
dengan hepatitis B positif tidak dikontraindikasikan, kecuali pada ibu dengan
kelainan patologi pada payudara seperti luka lecet pada puting.
Bagan alur
tatalaksana hepatitis B pada kehamilan. Pada awal kehamilan perempuan diperiksa
status HbsAg untuk menentukan tindakan awal. Kemudian, pada trimester ketiga,
pemeriksaan viral load harus
dilakukan untuk menentukan perlu atau tidaknya dimulai terapi supresi replikasi
virus
|
Penelitian
terdahulu dengan data-datanya yang membandingkan tingkat transmisi/penularan
hepatitis B dari ibu ke anak pada mode persalinan per vaginam atau per
abdominam gagal untuk secara konklusif menunjukkan perbedaan yang signifikan
dalam hal infeksi hepatitis B neonatus.
Pendapat ahli menyebutkan bahwa masih kurangnya data untuk merekomendasikan
perubahan cara persalinan perempuan yang terinfeksi hepatitis B. Beberapa data
terbaru memang mendukung pertimbangan dilakukannya persalinan via seksio
sesarea elektif untuk mengurangi risiko penularan, seperti pada sebuah meta-analisis
yang menunjukkan bahwa seksio sesarea berkaitan dengan penurunan risiko absolut
sebesar 17,5% jika dibandingkan dengan terapi imunoprofilaksis saja. Pada
sebuah studi di Beijing yang melibatkan 1.409 bayi yang lahir dari ibu HbsAg
positif dari tahun 2007-2011 mengungkapkan hasil berupa tidak terdapat
perbedaan risiko transmisi berdasarkan cara persalinan pada bayi-bayi yang
lahir dari ibu dengan tingkat virus
rendah (HBV DNA <1.000.000 kopi/mL). Namun,
seksio sesarea memiliki potensi peran yang signifikan dalam mengurangi risiko
transmisi pada perempuan dengan tingkat virus
yang lebih tinggi.
Society for Maternal-Fetal Medicine (2016) merekomendasikan terapi antivirus untuk mengurangi
transmisi vertikal pada wanita dengan risiko tertinggi dikarenakan tingkat DNA
HBV yang tinggi, namun pemberian terapi interferon dikontraindikasikan pada
kehamilan. Meskipun antiviral lamivudine, analog nukleosida cytidine,
telah ditemukan secara signifikan menurunkan risiko infeksi HBV janin pada
wanita dengan tingkat virus HBV tinggi tetapi data terbaru menunjukkan bahwa
lamivudine mungkin kurang efektif pada trimester ketiga. Selain itu, terkait
dengan perkembangan dari mutasi yang resisten sehingga tidak lagi
direkomendasikan sebagai agen lini pertama. Obat yang lebih baru termasuk analog
adenosine nukleosida, tenofovir dan analog thymidine, telbivudine.
Keduanya memiliki resistensi yang lebih rendah daripada lamivudine. Obat
antivirus ini digolongkan aman pada kehamilan dan tidak terkait dengan
kemungkinan tingkat tinggi dari malformasi kongenital atau luaran obstetrik yang merugikan.
Tenofovir saat ini adalah pilihan lini pertama yang diberikan dikarenakan
profil yang relatif lebih aman, resistensi rendah, dan efektivitas. Namun, data
jangka panjang lebih lanjut perlu dikumpulkan pada efek klinis terhadap
kepadatan mineral tulang. American
College of Gastroenterology (ACG) dan pedoman American Association for the Study of Liver Disease (AASLD) sangat merekomendasikan inisiasi antivirus pada pasien dengan
tingkat virus tinggi pada usia kehamilan 28–32 minggu untuk mengurangi
penularan ibu ke anak. Rekomendasi saat ini oleh AASLD menyebutkan tingkat DNA
HBV > 2 × 105 IU/mL sebagai indikasi untuk memulai terapi karena risiko penularan
HBV meningkat dengan tingkat viremia. HBIG yang diberikan pada antepartum untuk
wanita yang berisiko tinggi penularan juga merupakan pilihan yang tidak
merugikan. HBsAg, HBeAg dan HBV DNA
diekskresikan dalam ASI ibu yang terinfeksi. Menurut WHO, saat ini tidak ada
risiko tambahan penularan HBV melalui menyusui, bahkan tanpa adanya imunisasi.
Namun, menyusui harus dihindari dengan adanya keadaan puting retak atau
berdarah karena akan menyebabkan pencampuran eksudat serosa dengan air susu dan
berpotensi menyebabkan penularan hepatitis B. Kesimpulan Infeksi
hepatitis B masih merupakan masalah yang cukup sering dihadapi dalam praktik
manajemen perempuan hamil dan bayi baru lahir. Transmisi hepatitis B perinatal
tetap menjadi mode penularan virus yang awam terjadi, terutama pada
daerah-daerah dengan endemisitas tinggi. Ketersediaan obat-obatan antivirus oral dalam beberapa
dekade terakhir yang terbukti efektif mampu menekan replikasi virus telah
memberikan pertimbangan baru untuk memulai tatalaksana pada periode trimester
ketiga demi menurunkan risiko penularan. Hal ini terutama penting pada
perempuan hamil dengan tingkat viral load
yang tinggi. Keputusan untuk memulai atau menghentikan terapi harus dibuat
berdasarkan pertimbangan risiko dan manfaat, kemampuan monitor dan tindak
lanjut, dan efek pada bayi yang mungkin terjadi.
DAFTAR PUSTAKA 1. Gani RA,
Hasan I, Djumhana A, Setiawan PB Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis
B. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. 2012. 2. Borgia
G, Carleo MA, Gaeta GB, Gentile I. Hepatitis B in pregnancy. World J
Gastroenterol. 2012; 18(34): 4677-83. 3. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2017 tentang eliminasi
penularan Human Immunodeficiency Virus, sifilis, dan hepatitis B dari ibu ke
anak. 4. Tran,
Tram T. Hepatitis B in pregnancy. Clin Infect Dis. 2016; 62(S4): S314-17. 5. Ayoub
WS, Cohen E. Hepatitis B management in the pregnant patient: An
update. J Clin Transl Hepatol. 2016(4): 241–7. 6. Tran,
Tram T. Management of hepatitis B in pregnancy: Weighing
the options. Cleve Clin J Med. 2009; 76(3):S25-9. 7. Terrault
NA, Bzowej NH, Chang KM, Hwang JP, Jonas MM, Murad MH. AASLD guidelines for
treatment of chronic hepatitis B. Hepatology. 2016; 63(1):261–83. 8. Hu Y,
Chen J, Wen J, Xu C, Zhang S, Xu B, et al. Effect
of elective cesarean section on the risk of mother-to-child transmission of
hepatitis B virus. BMC Pregnancy Childbirth. 2013;13:119. 9. Pan CQ,
Zou H-b, Chen Y, Zhang X, Zhang H, Li J, et al. Cesarean section reduces
perinatal transmission of HBV infection from hepatitis B surface
antigen-positive women to their infants. Clin Gastroenterol Hepatol. 2013;
11:1349–55. 10. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Dashe JS, Hoffman BL,
Casey BM, et al. Williams obstetrics 25th Edition. New York: The McGraw-Hill
Companies. 2018. 11.
Kao
JH, Lin CL. Prevention of mother-to-child transmission: The key of hepatitis B virus elimination. Hepatol Int. 2018;
12:94–6. 12. Castillo E, Murphy K, Schalkwyk Jv.
Clinical practice guideline: Hepatitis B and Pregnancy. J
Obstet Gynaecol Can. 2016;
342: 1-10. DOC, PROMKES, RSMH
|
Komentar
Posting Komentar